Aku ingin bercerita dalam sebuah kalimat-kalimat, paragraf-paragraf kejujuran. Bersumber dari kekosongan hati ini, yang kurasa. Tanpa ada seorangpun yang tau, bahwa ini begitu tak enak.
Aku masih saja ingat, waktu itu. Disaat aku bertemu dengan dia untuk pertama kali, aku menunggu. Pertemuan kita telah direncanakan, ternyata yang kutunggu tak juga datang. Dia berhalangan, begitulah penjelasannya melalui pesan singkat di telepon. Padahal harapan bertemu untuk pertama kali telah hidup dalam benakku, membuat aku tak ingin melawatkan moment itu. Aku mempersiapkan yang terbaik yang ada pada diriku, dan ternyata kita tak bertemu. Ibaratnya, tertunda oleh keadaan.
Dan akhirnya, kita bertemu pada moment berikutnya namun tetap kumenunggu. Menunggu menjadi pengalamanku yang wajar ketika bersama dia, sudah terbiasa. Pada waktu itu tidak begitu bermasalah, aku menunggu penuh sabar.
Kita lewati bersama, berdua dan bercinta. Begitu indah dan bahagia dan mengetahui bahwa aku memiliki pasangan yang begitu mengerti dan memuaskan aku. Dalam perhatian dan kebutuhan batin. Aku menjadi nyaman dan dia begitu jumawa. Sebenarnya aku tak ingin mengenang, bahwa di awal bertemu, aku dan dia bagaikan sepasang orang yang angkuh. Dia merasa aku membutuhkannya, aku pun merasa demikian.
Sampai akhirnya, kita dipisahkan oleh sebuah kesadaran akan namanya kenyataan hidup. Ada yang masih membutuhkan dia melebihi aku. Aku mundur pada akhirnya, sambil kucari-cari masalah biar terasa sepadan. Seimbang menyakitkan, serasa memiliki urusan dengan yang lain. Seolah hati ini terobati, akan ego-ego yang terjadi.
Aku coba melupakan, dia pun demikian. Sambil aku mengenang, bahwa tak cukup kata sayang dan kalimat indah. Yang aku butuhkan lebih dari itu.
Ku coba mundur sejenak pada peristiwa dimana disaat bersama dia, dan ternyata banyak yang singgah dalam logika. Aku merasa hanya sebuah pelampiasan akan keadaan, aku hanya pelipur lara.
Kucoba bangkitkan emosi ini dengan mengenal orang lain, hingga kuterbuai akan sebuah pengalaman baru. Selamat tinggal kamu, itu kata aku pada waktu itu.
Tahun berganti tahun dan ternyata tak mempan, sosok dia selalu hadir. Dalam bayangan, yang tersirat bak sihir. Aku bertanya dalam hati, akankah kita bertemu kembali?
Tak mau menunggu lama, jalur komunikasi tak pernah kuputuskan. Aku masih berkomunikasi dengan dia, walau kadang hanya satu arah. Aku bahagia, bisa melihat dia menjadi lebih baik. Aku berjuang untuk satu frekuensi dengan dia, agar tidak sukar untuk menyambung disaat kembali.
Dan akhirnya, aku dipertemukan kembali oleh waktu. Kita sama-sama telah berubah, mungkin menjadi lebih baik. Aku rasakan perbedaan dari beberapa sikap dia, namun ada persamaan dari sikap dia sebelumnya.
Berbeda karena tanpa batas untuk bertemu, itu yg kurasa.
Namun, ada beberapa sikap dia yang belum berubah sejak dahulu.
Kemampuan dia untuk mengenalku begitu terbatas, padahal aku sudah membuka dengan lapang, diri aku yang sebenarnya. Kemampuan dia menelaah keinginan diri aku, dan ketidaktahuan dia bahwa waktu jangan dibuang percuma dan bergeraklah dengan gesit. Hal-hal itu selalu membuat kita salah paham, berargumen tak punya ujung. Kita menjadi letih satu dengan yang membuatku juga terlalu dominant dan pengatur.
Kucoba merefleksikan diri ini, bahwa akhirnya semua berasal dari aku. Aku tak ingin menyusahkan dia dengan segala keinginan dan tuntutan aku. Biarlah dia hidup bebas tanpa tekanan. Dan yang lebih penting buat aku adalah, dia sudah mengetahui bahwa aku begitu mencinta dia. Sejak dahulu, sekarang dan selamanya.
Tibalah pada paragraf terakhir,
Segala kemungkinan bisa terjadi antara aku dan dia. Aku hanya ingin mencoba menjadi bijaksana, baik terhadap diri dan orang lain. Mengenai hati tak perlu diutak atik lagi, bagian hatiku sudah menjadi milik dia.
(Created : 12 Agustus 2019)
Deal with being unfairly judged
ginanelwan
Thursday, August 15, 2019
Cerita Gina
Banker, Writer, founder @bicaraahati
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments