Rumah tangga dibentuk dari sepasang manusia yang berkomitmen dalam satu visi dan misi untuk menjalani kehidupan pernikahan. Rumah tangga dibangun karena didasari kasih sayang antara suami dan isteri, disitu juga hadir anak-anak sebagai pelengkap cinta dalam sebuah keluarga.
Di indonesia, idealnya sebuah rumah tangga digambarkan dengan Laki-laki sebagai kepala keluarga yang bertugas untuk mencari nafkah, Perempuan sebagai pendamping dan support system bertugas mengatur keuangan keluarga serta anak-anak sebagai penerus harapan keluarga. Kita terbiasa dengan gambaran tersebut. Laki-laki begitu menjadi sosok yang powerfull di dalam keluarga, ibaratnya titah mereka harus dijalankan oleh semua anggota keluarga. Begitu pun juga seorang perempuan menjadi sosok penuh cinta dan kasih yang tak kenal waktu dalam mengurus rumah tangga.
Perempuan dalam hal ini, seorang ibu tak memiliki batas waktu dalam memberikan perhatian kepada keluarganya.
Apa yang terjadi jika idealnya sebuah keluarga hancur karena terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Siapa yang suka dengan kekerasan? Kalau saya bertanya demikian, semua akan menjawab tidak suka akan kekerasan. Siapa yang pernah mengalami kekerasan? Kalau saya bertanya seperti ini, semua pasti akan menjawab pernah mengalami hal demikian. Alasan apapun, untuk tujuan apapun kekerasan tidak dibenarkan.
Kekerasan menjadi dua bagian, kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal; membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum dengan lisan, dll. Sedangkan kekerasan non verbal ; menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dll. Dua-duanya begitu sangat menyakitkan. Disini saya akan bercerita, sebuah pandangan yang lahir dari pengalaman pribadi dan berbagai macam cerita dari orang lain. Tentunya terlepas dari itu, kita adalah bagian dari ketidaksempurnaan. Semua orang pernah melakukan bentuk kekerasan kepada orang lain, tetapi maukah kita untuk menyadari dan berhenti?
Saya pun pernah melakukan kekerasan dan akhirnya sadar untuk berhenti dan memulai hidup lebih baik.
Dalam perspektif saya sebagai seorang perempuan dan sesuai pada judul artikel ini, saya memandang bahwa KDRT sangat tidak dibenarkan.
Saya merasakan bahwa menjadi seorang perempuan di Indonesia, masih belum memiliki hak-hak yang sama. Di dalam norma agama, adat dan budaya yang telah dijalankan, betapa perempuan masih di bawah laki-laki. Saya pernah mengalami KDRT. Saya tidak berani untuk bercerita, karena menurut saya akan susah dimengerti oleh banyak orang. Karena selalu ditanggapi dengan cibiran-cibiran yang dilakukan oleh orang lain atau bahkan sesama perempuan.
Mengungkapkan KDRT menjadikan perempuan di Indonesia terbentur akan stigma yang ada. Bahwa aib rumah tangga, aib suami akan menjadi aib keluarga dan aib kita juga (perempuan). Ada banyak perempuan yang memilih diam dan terus diam akan hal ini. Pembelaan menjadi tidak penting karena masyarakat terbiasa akan pandangan-pandangan konvensional dan terbentur akan sosial budaya, adat dan norma agama. Perempuan harus patuh dan taat terhadap suami, ini saya sangat setuju. Namun perempuan yang diredam untuk membela haknya, sepatutnya kita melawan.
Masih hangat dengan cerita, seorang wni yang mengungkapkan uneg-unegnya pada ig story, isinya meminta bantuan kepada seluruh warga indonesia, karena yang bersangkutan mengalami KDRT. Perempuan tersebut meminta dipulangkan ke indonesia, konon katanya telah sampai pada kekerasan fisik yang menurut saya begitu menyeramkan. Reaksi dari kejadian itu, direspon positif oleh netizen dan pemerintah, yang berhasil menangani dengan cepat masalah perempuan tersebut. Namun kabarnya, yang bersangkutan masih ingin tetap tinggal bersama suaminya, mungkin memaafkan suaminya dan mengurungkan niatnya untuk pulang ke Indonesia, alasannya karena banyak pertimbangan.
Kasus tersebut menjadikan contoh bahwa menjadi seorang perempuan tidaklah mudah. Ada begitu banyak pertimbangan. Seperti contoh, tidak punya uang, tidak memiliki pekerjaan, takut akan cibiran orang, takut akan kenyataan yang dihadapi. Banyak hal yang memang menjadi pertimbangan membuat perempuan, kembali hidup dalam ketidakbahagiaan. Kekerasan menjadi toleransi, karena berpikir jika berpisah membuat perempuan menjadi semakin susah, karena ketidakmampuan untuk mandiri. Dan mungkin akan terus disalahkan oleh lingkungan dan bahkan keluarga.
Tetapi, masih banyak kok keluarga yang selalu mendukung anggota keluarganya walau sulit terasa. Saya juga sempat berpikir bahwa, perselisihan atau perbedaan pendapat dan mengakibatkan terjadi KDRT antara suami dan isteri pun semata-mata bukan salah seorang suami. Ada banyak perempuan, yang belum memilki sikap akan pengendalian emosi. Dan begitu malunya, jika berkoar-koar telah disakiti suami, namun menjadi melempem dan kembali baikan hanya karena sebuah alasan "banyak pertimbangan".
Tentunya sebagai perempuan harus bisa bersikap, selayaknya menjadi lembut karena kamu adalah perempuan. Dan ketika semua itu dilakukan, namun masih saja mendapatkan KDRT, saran saya sebaiknya kamu harus memilih untuk berpisah.
Ada banyak perempuan urung untuk berpisah karena dikatakan "banyak pertimbangan", mempertimbangkan anak, keadaan financial, kalau kabur mau tinggal dimana dan banyak pertimbangan lainnya.
Berdasarkan pengalaman saya, tidak menyalahkan alasan tersebut dan itu menjadi hak setiap perempuan. Namun jika saya boleh berpendapat bahwa semua pertimbangan itu terlalu dibuat-buat, dasarnya adalah perempuan mengurungkan niat untuk berpisah walaupun terjadi KDRT karena belum siap mendapatkan penilaian dari lingkungan. Belum siap terhadap penghakiman masyarakat. Sesederhana itukah? Yah memang seperti itu, ketidaksiapan hidup dalam ketidaknyamanan. Ketidaksiapan akan hal tersebut dapat melahirkan masalah-masalah lain. Ini sebenarnya tentang sebuah ego, karena kamu masih seorang manusia. So wajar sih, perasaan wanita lebih besar dari pada logikanya.
Menjadi tidak seimbang jika banyak aktivis perempuan berjuang untuk kesetaraan gender dan memerangi KDRT, tetapi kita (perempuan) tidak mau berjuang untuk diri kita sendiri dengan tujuan hidup baik, bahagia dan manusiawi. Penilaian akan terus menjadi sama dari dahulu sampai sekarang soal perempuan, jika kita (perempuan) masih bertindak secara emosional tanpa memikirkan dengan matang segala keputusan kita dan dampaknya. Kita akan terus dinilai labil dan emosional, karena tidak memiliki kesiapan dalam mengambil keputusan. Sangat menghormati ada begitu banyak perempuan, yang dengan tenang menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan penuh strategi. Karena menganggap semua harus dipikirkan matang, tanpa membuat reaksi-reaksi yang berlebihan pada orang banyak.
Sangat menghormati perempuan yang berjuang untuk keluarganya, memiliki mimpi untuk anaknya. Sangat menghormati perempuan yang menyusun rencana-rencana berpisah dengan bijaksana ; meredam pertengkaran dan berpisah dengan baik-baik. Sangat bangga untuk kalian perempuan single fighter, single mom yang memilih berpisah untuk menjauh dari hal-hal negatif dan lebih bijaksana untuk lebih mencintai diri sendiri.
Akhir kata, artikel ini adalah kegelisahan saya akan kejadian yang saya jumpai, tidak ada keinginan untuk melemahkan satu pihak manapun. in love we will conquer the world.
Di indonesia, idealnya sebuah rumah tangga digambarkan dengan Laki-laki sebagai kepala keluarga yang bertugas untuk mencari nafkah, Perempuan sebagai pendamping dan support system bertugas mengatur keuangan keluarga serta anak-anak sebagai penerus harapan keluarga. Kita terbiasa dengan gambaran tersebut. Laki-laki begitu menjadi sosok yang powerfull di dalam keluarga, ibaratnya titah mereka harus dijalankan oleh semua anggota keluarga. Begitu pun juga seorang perempuan menjadi sosok penuh cinta dan kasih yang tak kenal waktu dalam mengurus rumah tangga.
Perempuan dalam hal ini, seorang ibu tak memiliki batas waktu dalam memberikan perhatian kepada keluarganya.
Apa yang terjadi jika idealnya sebuah keluarga hancur karena terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Siapa yang suka dengan kekerasan? Kalau saya bertanya demikian, semua akan menjawab tidak suka akan kekerasan. Siapa yang pernah mengalami kekerasan? Kalau saya bertanya seperti ini, semua pasti akan menjawab pernah mengalami hal demikian. Alasan apapun, untuk tujuan apapun kekerasan tidak dibenarkan.
Kekerasan menjadi dua bagian, kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal; membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum dengan lisan, dll. Sedangkan kekerasan non verbal ; menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dll. Dua-duanya begitu sangat menyakitkan. Disini saya akan bercerita, sebuah pandangan yang lahir dari pengalaman pribadi dan berbagai macam cerita dari orang lain. Tentunya terlepas dari itu, kita adalah bagian dari ketidaksempurnaan. Semua orang pernah melakukan bentuk kekerasan kepada orang lain, tetapi maukah kita untuk menyadari dan berhenti?
Saya pun pernah melakukan kekerasan dan akhirnya sadar untuk berhenti dan memulai hidup lebih baik.
Dalam perspektif saya sebagai seorang perempuan dan sesuai pada judul artikel ini, saya memandang bahwa KDRT sangat tidak dibenarkan.
Saya merasakan bahwa menjadi seorang perempuan di Indonesia, masih belum memiliki hak-hak yang sama. Di dalam norma agama, adat dan budaya yang telah dijalankan, betapa perempuan masih di bawah laki-laki. Saya pernah mengalami KDRT. Saya tidak berani untuk bercerita, karena menurut saya akan susah dimengerti oleh banyak orang. Karena selalu ditanggapi dengan cibiran-cibiran yang dilakukan oleh orang lain atau bahkan sesama perempuan.
Mengungkapkan KDRT menjadikan perempuan di Indonesia terbentur akan stigma yang ada. Bahwa aib rumah tangga, aib suami akan menjadi aib keluarga dan aib kita juga (perempuan). Ada banyak perempuan yang memilih diam dan terus diam akan hal ini. Pembelaan menjadi tidak penting karena masyarakat terbiasa akan pandangan-pandangan konvensional dan terbentur akan sosial budaya, adat dan norma agama. Perempuan harus patuh dan taat terhadap suami, ini saya sangat setuju. Namun perempuan yang diredam untuk membela haknya, sepatutnya kita melawan.
Masih hangat dengan cerita, seorang wni yang mengungkapkan uneg-unegnya pada ig story, isinya meminta bantuan kepada seluruh warga indonesia, karena yang bersangkutan mengalami KDRT. Perempuan tersebut meminta dipulangkan ke indonesia, konon katanya telah sampai pada kekerasan fisik yang menurut saya begitu menyeramkan. Reaksi dari kejadian itu, direspon positif oleh netizen dan pemerintah, yang berhasil menangani dengan cepat masalah perempuan tersebut. Namun kabarnya, yang bersangkutan masih ingin tetap tinggal bersama suaminya, mungkin memaafkan suaminya dan mengurungkan niatnya untuk pulang ke Indonesia, alasannya karena banyak pertimbangan.
Kasus tersebut menjadikan contoh bahwa menjadi seorang perempuan tidaklah mudah. Ada begitu banyak pertimbangan. Seperti contoh, tidak punya uang, tidak memiliki pekerjaan, takut akan cibiran orang, takut akan kenyataan yang dihadapi. Banyak hal yang memang menjadi pertimbangan membuat perempuan, kembali hidup dalam ketidakbahagiaan. Kekerasan menjadi toleransi, karena berpikir jika berpisah membuat perempuan menjadi semakin susah, karena ketidakmampuan untuk mandiri. Dan mungkin akan terus disalahkan oleh lingkungan dan bahkan keluarga.
Tetapi, masih banyak kok keluarga yang selalu mendukung anggota keluarganya walau sulit terasa. Saya juga sempat berpikir bahwa, perselisihan atau perbedaan pendapat dan mengakibatkan terjadi KDRT antara suami dan isteri pun semata-mata bukan salah seorang suami. Ada banyak perempuan, yang belum memilki sikap akan pengendalian emosi. Dan begitu malunya, jika berkoar-koar telah disakiti suami, namun menjadi melempem dan kembali baikan hanya karena sebuah alasan "banyak pertimbangan".
Tentunya sebagai perempuan harus bisa bersikap, selayaknya menjadi lembut karena kamu adalah perempuan. Dan ketika semua itu dilakukan, namun masih saja mendapatkan KDRT, saran saya sebaiknya kamu harus memilih untuk berpisah.
Ada banyak perempuan urung untuk berpisah karena dikatakan "banyak pertimbangan", mempertimbangkan anak, keadaan financial, kalau kabur mau tinggal dimana dan banyak pertimbangan lainnya.
Berdasarkan pengalaman saya, tidak menyalahkan alasan tersebut dan itu menjadi hak setiap perempuan. Namun jika saya boleh berpendapat bahwa semua pertimbangan itu terlalu dibuat-buat, dasarnya adalah perempuan mengurungkan niat untuk berpisah walaupun terjadi KDRT karena belum siap mendapatkan penilaian dari lingkungan. Belum siap terhadap penghakiman masyarakat. Sesederhana itukah? Yah memang seperti itu, ketidaksiapan hidup dalam ketidaknyamanan. Ketidaksiapan akan hal tersebut dapat melahirkan masalah-masalah lain. Ini sebenarnya tentang sebuah ego, karena kamu masih seorang manusia. So wajar sih, perasaan wanita lebih besar dari pada logikanya.
Menjadi tidak seimbang jika banyak aktivis perempuan berjuang untuk kesetaraan gender dan memerangi KDRT, tetapi kita (perempuan) tidak mau berjuang untuk diri kita sendiri dengan tujuan hidup baik, bahagia dan manusiawi. Penilaian akan terus menjadi sama dari dahulu sampai sekarang soal perempuan, jika kita (perempuan) masih bertindak secara emosional tanpa memikirkan dengan matang segala keputusan kita dan dampaknya. Kita akan terus dinilai labil dan emosional, karena tidak memiliki kesiapan dalam mengambil keputusan. Sangat menghormati ada begitu banyak perempuan, yang dengan tenang menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan penuh strategi. Karena menganggap semua harus dipikirkan matang, tanpa membuat reaksi-reaksi yang berlebihan pada orang banyak.
Sangat menghormati perempuan yang berjuang untuk keluarganya, memiliki mimpi untuk anaknya. Sangat menghormati perempuan yang menyusun rencana-rencana berpisah dengan bijaksana ; meredam pertengkaran dan berpisah dengan baik-baik. Sangat bangga untuk kalian perempuan single fighter, single mom yang memilih berpisah untuk menjauh dari hal-hal negatif dan lebih bijaksana untuk lebih mencintai diri sendiri.
Akhir kata, artikel ini adalah kegelisahan saya akan kejadian yang saya jumpai, tidak ada keinginan untuk melemahkan satu pihak manapun. in love we will conquer the world.
Setuju sekali, Mbak. Sebagai perempuan kita juga harus mulai benar-benar menggunakan logika dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Untuk perkara KDRT sendiri, saya termasuk yang benar-benar menentang keras. Dalam rumah tangga harusnya antar pasangan bisa saling melengkapi, jika pun ada sedikit kesalahan yang dilakukan istri, tidak seharusnya dia mendapat KDRT.
ReplyDeletesedih rasanya jika kekerasan dibenarkan
DeleteIya, saya setuju. Pola masyarakat tentang gender harus segera berubah. Pernikahan menurut saya juga merupakan sebuah tim, yg mana yg satu melengkapi yg lain, bukan yg satu mendominasi yg lain. Kita juga perlu mendukung para korban KDRT, serendah-rendahnya adalah dengan memberikan dukungan secara emosional kepada mereka agar mereka tidak merasa sendirian.
ReplyDeleteya setuju, keluarga ada tim. Saling membantu dan mendukung.
DeleteMasalah KDRT ini, kalau isteri melawan masuk isteri durhaka padahal isteri hanya mempertahankan hak ya, tetangga saya tuh isterinya seringkali dihajar suaminya, ketika saya sarankan buat melawan isterinya bilang gapapa saya yang salah duh saya miris aja liatnya.
ReplyDeletesemoga, tidak apa-apa yah tetangganya. Kekerasan apapun alasannya gak dibenarkan mbak ya
DeleteDuhhh, ikut sedih Mba bacanyaa
ReplyDeletesemoga KDRT yg dialami banyak perempuan (termasuk dirimu) tdk meninggalkan trauma mendalam ya
Ada sahabatku, Dini Surya, dulu korban KDRT juga. Sekarang doi bertransformasi jadi wanita kuat, dan menjadi coach di lembaga martial arts gitu.
Waduh, mantap tuh. Jadi kalau teman mbak dilecehkan langsung hajar hehe
DeleteSaya juga salah satu korban KDRT, Mbak. Salah satu perempuan yang nggak berani mengajukan gugatan cerai karena faktor penilaian lingkungan. Itu betul sekali. Tetapi ketika dia mengajukan gugatan, meskipun terkejut, tetapi pada akhirnya saya jauuuh lebih bahagia saat ini.
ReplyDeleteBetul, kok, saat hidup kita nggak berada di bawah tekanan apalagi dari pasangan, kesempatan untuk berbahagia itu jauh lebih besar. Dulu, jangan harap deh saya bisa berteman atau menulis seperti sekarang. Perpisahan adakalanya menjadi cara kita untuk bahagia.
Salute buat Mbak Melina. Mbak salam kenal ya. Dan tetap kuat dan Bahagia!
DeleteSaya mantan korban kdrt yang mengalami depresi berat hingga harus dirawat
ReplyDeleteNanti saya tulis deh, sementara ini masih maju mundur karena bak merobek luka yang hampir menutup
Semangat Maria. Speak ur mind, Terima kasih sudah berbagi walaupun memang sukar.
DeleteIya sih kak Gina, jadinya serba membingungkan ya. Semoga permasalahan KDRT tidak ada lagi ya di muka bumi ini, sehingga tercipta kedamaian yang indah
ReplyDeleteAmin mbak Fenni. Bahagia selalu ya
DeleteSaya setuju banget!
ReplyDeleteKalau KDRT mending pisah, meskipun jujur pisah itu nggak semudah mengatakannya hehehee.
Saya melihat banget beberapa contoh, pasangan yang memilih pisah, anak nggak keurus, sang ibu juga makin tidak terarah.
Menurut saya, selain berjuang untuk bebas KDRT, jangan lupa memperkaya mental dulu, agar setelah lepas KDRT, tidak merugikan anak atau keluarganya :(
Semoga banyak perempuan di luar sana menjadi tetap tegar dan bermanfaat
DeleteKebanyakan perempuan sepertinya saat mengalami KDRT, lebih memilih diam dan memaafkan suaminya, walaupun si istri sudah bersikap semaksimal mungkin melakukan tugas dan kewajibannya dalam rumah tangga.
ReplyDeleteBetul mbak, harusnya tidak boleh didiamkan, tiap2 jiwa adalah berharga, bukan diperlakukan semaunya oleh pihak lain dalam konteks ini adalah suami.
Mempertahankan rumah tangga jika hanya karena salah satunya alasan memikirkan "anak", jiwa anak pun pada akhirnya akan tergoncang dan trauma melihat kedua orang tuanya tidak akur 😊
Mbak Shovya, saya sependapat. Terima kasih ya
DeleteMelihat beberapa kasus yang pernah ada, memang posisi wanita serba salah.
ReplyDeleteMau menyerahkan dan bercerai saja masih banyak pertimbangan kedepannya.
Wanita/Perempuan selalu salah, sometimes. Hiks
DeletePerempuan tetap harus berani speak up mbak.
ReplyDeleteApalagi klo mengalami kdrt, harus dilawan
ya benar mbak. Dan tentunya lebih mendukung sesama perempuan.
DeleteDogma masyarakat Indonesia tentang serang istri adalah melayani suami.
ReplyDeleteIni bisa dilihat, awal menikah saat saya pulang ke rumah. Om saya negur "mbok ya suaminya itu dibikinkan kopi kalau pagi" kami tidak terbiasa begitu....
Trus pas kerumah Buhde, ditegur lagi "Suaminya itu dilayani makannya, ambilin makan...kamu itu ga perhatian sekaliu sama suami...." untung suami langsung menimpali " gak apa, Budhe. Saya biasa sendiri...si Hani ga ngerti plating yang bener" ...
Bullying atau KDRT verbal ini perempuan jarang sadari, saat suami mematikan impian sang istri juga menjadi salah satunya menurut saya.
Duh! benar sekali, stigma dan dogma itu memang mbak...,.susah buat dihilangkan hmm
DeleteAnak, finansial, dan cinta menjadi alasan perempuan mau saja ditindas suami. Tapi kalau saya pribadi saya tidak akan membiarkannya, anak-anak akan mendapatkan innerchild yang jauh lebih besar jika harus melihat ortunya bertengkar terus. Finansial? masih bisa diusahakan kok. Cinta? duh, bukan cinta namanya jika saling menyakiti.
ReplyDeleteNah setuju, Uang bisa dicari...tapi kebahagiaan satu sama lain susah untuk dipaksakan jika diwarnai dengan kekerasan
DeleteUlasan yang menarik, Mbak..dan ikut prihatin karena pernah menjadi korban KDRT. Semoga sehat dan tetap semangat yaa..
ReplyDeleteKakakku ada yang menjadi korban KDRT, tinggal di luar Jawa. Dia berjuang menyelamatkan diri, mengurus pindah kerja (dia ASN), sekolah anak, dll sendiri, secara diam-dia tanpa diketahui suami. Sapai saatnya, berbekal 1 tas pergi dia ajak 2 anaknya pulang ke rumah ortu saya, dan enggak pernah kembali lagi.
Sekarang dia bisa tetap bekerja menghidupi 2 anaknya dan tinggal di dekat rumah ortu saya. Suaminya ngurus ke kantornya untuk pembatalan kepindahan sudah enggak bisa karena Alhamdulillah atasan dan teman dekatnya di sana maupun di tempat baru mendukungnya.
Semoga banyak perempuan punya kekuatan yang sama menghadapi KDRT ini.
Sending virtual hug untuk kakaknya. Terima kasih sudah berbagi mbak Dian
DeleteDapat difahami sih Mbak, mwngapa sebagian wanita yang sudah memiliki anak tetap ingin mempertahankan rumah tangganya meski apa pun. Itu karena tidak ingin anaknya berpisah dari kedua orangtuanya. Apalagi jika anaknya hanya dekat dengan ayahnya. Emak nggak akan tega melepaskan si anak.
ReplyDeleteBagaimana pun, wanita memiliki hak untuk bahagianya. Semestinya, dia bisa memilih untuk melanjutkan hidupnya dengan bahagia.
Bahagia itu pilihan walau pun terasa sulit dirasa
DeleteSelalu miris dan sedih setiap kali melihat kasus KDRT, apalagi yang mengalami itu teman/keluarga sendiri. Gak kebayang gimana kondisi psikologis anak-anaknya kalau setiap saat harus melihat tindakan kekerasan.
ReplyDeleteIya mbak. Itulah fakta yang terjadi
Delete